Pencapaian di Bidang Konstruksi Bangunan

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 06.00 | | 0 komentar »

 by aristek-2004


Pendirian bangunan diserahkan kepada arsitek-arsitek ternama.
Bangunan menjulang dan bentangan jembatan, bertebaran di dunia Islam. Menjadi fasilitas yang bermanfaat bagi masyarakat pada masanya. Ini semua berawal dari penguasaan teknologi konstruksi oleh cendekiawan Muslim. Semua pencapaian menjadi pijakan pengembangan bidang tersebut pada masa-masa selanjutnya.
Melalui karya berjudul Islamic Technology: an Illustrated History, Donald R Hill dan Ahmad al-Hassan mengungkapkan pengerjaan konstruksi selalu beriringan dengan telaah teoretis, seperti matematik dan ilmu alam. Oleh karena itu, proyek pembuatan jembatan ataupun bangunan besar sering melibatkan pakar dari beragam keahlian.
Perpaduan teori dan terapan dalam pengembangan konstruksi menghasilkan serangkaian karya luar biasa. Jembatan yang dibangun umat Islam, misalnya, dikenal memiliki ketahanan luar biasa. Di masa Abbasiyah, pengadaan fasilitas penunjang transportasi, baik jalan maupun jembatan, menjadi perhatian utama.
Pencapaian gemilang pada bidang ini terekam dalam sejumlah risalah yang ditulis ilmuwan terkemuka. Buku Al-Ilam Bimaqib al-Islam yang ditulis al-Amiri merupakan salah satu risalah itu. Sejarah menyingkap pula perkembangan kemajuan umat Islam dalam pembuatan jembatan.
Muslim mengembangkan jembatan gantung bersuspensi terbuat dari tali dan kayu, seperti yang ada di Cina dan dipakai di sejumlah wilayah Islam. Jembatan gantung merupakan fasilitas penyeberangan utama untuk kawasan pegunungan di Andalusia, Iran (Persia), dan Afrika Utara (al-Maghribi).
Sejarawan Ibnu Hawqal memberikan informasi tentang jembatan sejenis itu di atas Sungai Tab, Iran, pada abad ke-10. Ia menyatakan, sungai itu dilewati sebuah jembatan kayu yang ketinggiannya di atas air sekitar 10 hasta. Buku Medieval Islamic Civilzation karya Josef W Meri mengungkapkan dua jenis bahan pembuat jembatan.
Biasanya, ujar dia, umat Islam menggunakan struktur batu (qantara) dan  kayu. Jembatan-jembatan itu berfungsi menghubungkan dua kawasan yang dipisahkan sungai atau jurang. Selain itu, ada pula jembatan berbentuk lengkung terbuat dari batu lazim yang biasa ditemui di kota-kota Islam masa itu.
Jembatan jenis ini terbilang kokoh dan beberapa di antaranya sanggup bertahan selama berabad-abad. Misalnya, jembatan abad ke-8 yang terdapat di Afganistan. Namun, kata Donald Hill dan Ahmad Hassan, tak setiap jenis jembatan diterapkan di wilayah-wilayah Islam. Semua disesuaikan dengan kondisi alam.
Pada kawasan perbukitan atau pegunungan, diutamakan jembatan dari kayu dan tali, sedangkan di perkotaan atau dataran, dimungkinkan adanya jembatan dari batu atau batu bata. Beberapa jembatan merupakan perpaduan bahan kayu dan batu. Batu memperkuat struktur jembatan dan dijadikan penyangga, bentangannya terdiri atas balok-balok kayu.
Jembatan ponton atau jembatan apung mewujud sebagai salah satu karya umat Islam. Banyak referensi mengenai jembatan ini dalam tulisan-tulisan ilmuwan Muslim. Jenis ini sangat dikenal di Irak yang digunakan untuk menyeberangi dua sungai dan saluran-saluran irigasi.
Pada abad ke-10, ada dua jembatan ponton di atas Sungai Tigris, Baghdad, Irak. Tapi, hanya satu jembatan yang digunakan. Sedangkan jembatan lainnya rusak dan kemudian tak terpakai lagi karena jarang orang memanfaatkannya. Sejarawan Ibnu Jubair juga menceritakan jembatan ponton.


Menurut dia, ponton ditopang perahu-perahu besar di atas Eufrat. Ada yang lainnya dan berukuran lebih besar di atas sebuah saluran air di Baghdad. Jembatan ponton lainnya dibangun melintasi sungai-sungai Khuzistan, sebuah provinsi di Iran yang beririsan dengan wilayah Irak. Pun Sungai Helmnd, Sijistan, kini wilayah barat Afghanistan.
Kota Fustat sekarang terkenal dengan nama Kairo lama, Mesir, memiliki jembatan ponton untuk beberapa tahun lamanya. Menurut sejarawan al-Istakhri, pada paruh awal abad ke-10 jembatan melintang dari kota ke area kepulauan. Sedangkan jembatan lainnya dari area kepulauan mengarah ke tepi sungai.
Sekitar dua abad kemudian, sejarawan lainnya, al-Idrisi mengungkapkan gambaran yang hampir sama. Jembatan ponton tidak dibangun di sungai yang menjadi jalur perdagangan atau transportasi, karena bisa mengganggu lalu lintas perahu-perahu. Di kondisi ini, biasanya hadir jembatan lengkung.
Pembangunan jembatan lengkung di wilayah-wilayah yang terdapat banyak batu, seperti beberapa bagian wilayah Iran, pembangunan jembatan lengkung menggunakan batu bata yang dibakar. Pada umumnya, pembuatan jembatan semacam itu menggunakan bahan baku utama berupa batu.
Pakar geografi al-Qazwini yang meninggal pada 1283 Masehi, mewariskan gambaran grafis tentang sebuah jembatan lengkung yang besar di Kota Idhaj, Khuzistan. Jembatan lengkung lainnya terdapat di atas Sungai Tab, Iran. Istakhri melihat jembatan tersebut pada awal abad ke-10.
Selain jembatan, karya fenomenal peradaban Islam di bidang teknik sipil merambah pada bangunan. Banyak bangunan megah, besar, dan kokoh, berdiri di kota-kota besar Islam. Antara lain, Kubah Batu di Yerusalem, Masjid Umayyah di Damaskus, Masjid Agung di Kuffah dan Basra, ataupun kota bundar di Baghdad.
Bangunan-bangunan itu menandai pencapaian gemilang umat Islam dalam arsitektur dan konstruksi. Para ahli geografi Muslim memberikan keterangan perinci terkait bahan-bahan pembuatan bangunan di perkotaan.Yakni, batu bata mentah (labin atau bak), batu bata bakar (ajurr), batu (hajar), dan kayu.
Pada abad pertengahan, kayu tersedia dalam jumlah berlimpah, tetapi jarang sekali digunakan pada konstruksi bangunan-bangunan besar. Hanya beberapa kota yang didominasi bahan kayu, seperti Bukhara dan sebagian wilayah Andalusia. Pemilihan bahan bergantung pada ketersediaan material lokal, biaya, waktu, serta fungsi bangunan.
Pengawasan kualitas bangunan sangat mendapat perhatian. Tanggung jawab ini menjadi tugas pejabat yang disebut muhtasib. Tugasnya sangat luas, mulai dari urusan pasar, kontrol kualitas sarana sanitasi dan sumber air bersih, hingga mengawasi kualitas bahan bangunan.
Oleh sebab itu, urai Khalid Azab pada buku The Architect in Islamic Civilization, dalam setiap proyek pembangunan dalam skala menengah dan besar, selalu diserahkan kepada arsitek-arsitek kenamaan. Mereka tak sekadar mendesain bentuk bangunan, tapi juga mengawasi langsung proses pembangunannya. ed: ferry kisihandi
Sumbangsih Para Arsitek Muslim
Pada 1226 Masehi, Khalifah al-Zahir dari Dinasti Mamluk ingin membangun sebuah masjid besar di Kota Kairo. Lalu, ia mengumpulkan arsitek dan ahli rekayasa bangunan terbaiknya. Antara lain, Ataybek Faris Eddine Aqtay dan Assahib Fakhr Eddine ibn Assahib Bahaa Eddine, untuk membahas proyek ini.
Mereka ditugaskan mencari lokasi terbaik, mendesain bentuk bangunan, menentukan bahan bangunan, dan mengawasi pekerja. Para arsitek itu juga dikirim ke beberapa negara Islam untuk studi banding. Ketika proyek pembangunan dimulai, secara rutin khalifah meninjau langsung ke lokasi dan memantau perkembangan.
Para penguasa dan masyarakat Muslim memandang bidang konstruksi dalam sebagai sesuatu yang penting. Hadirnya karya-karya bangunan dengan arsitektur indah serta kokoh, seperti jalan, jembatan, masjid, ataupun kanal, mempertegas keunggulan umat Islam dalam khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad pertengahan.
Khalifah al-Mamun ibnu Musa senantiasa mengarahkan para arsiteknya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Ini merupakan bentuk perhatiannya terhadap perkembangan bidang teknik sipil. Dia ingin agar setiap bangunan memenuhi unsur-unsur tertentu, seperti kuat, kokoh, juga berdesain indah.
Dunia Islam mengenal sederet arsitek ternama. Ibn Khaldun salah satunya. Beragam karya bidang teknik sipil merupakan kontribusinya yang tersohor di seluruh dunia Islam. Tokoh lainnya adalah al-Kindi. Selain itu, ia terkenal sebagai ahli ilmu alam. Begitu pula, al-Razi yang populer sebagai ahli rekayasa bangunan dan ahli kimia.
Muncul pula nama al-Biruni dalam bidang tersebut. Selain itu, namanya selama ini melambung melalui bidang lainnya, yaitu astronomi dan fisika. Sejumlah ilmuwan lainnya, seperti al-Jazari mengkhususkan diri dalam bidang rekayasa. Namun, menurut Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill, sebagian besar dari mereka tak banyak tercatat namanya.
Saat mengerjakan sebuah proyek pembangunan, ada kalanya para arsitek saling bertukar pandangan. Sedangkan untuk mengerjakan proyek yang begitu besar, seperti pembangunan Kota Baghdad di masa Abbasiyah, dibentuklah sebuah komite untuk menjalankan proyek itu.
Tugas komite ialah mendesain sekaligus mengawasi seluruh pengerjaan proyek pembangunan. Menurut al-Hassan dalam Islamic Technology: An Illustrated History, mereka juga bertindak sebagai kontraktor dan dapat menugaskan beberapa subkontraktor untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih spesifik.
Pada dasarnya, untuk menghadirkan bangunan yang memenuhi standar, perhitungan geometric, dan proporsi luas memegang peran krusial. Ini dikemukan Ibnu Khaldun. Maka itu, perlu keahlian khusus sehingga biasanya para arsitek melengkapi diri dengan beragam disiplin ilmu penunjang.

0 komentar

Posting Komentar