Klasifikasi Kota

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 06.00 | | 0 komentar »

Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khasnya.
Simbol peradaban Islam. Gelar itu layak disematkan pada kota-kota yang didirikan umat Islam. Sebagian kota kemudian menjelma menjadi pusat politik dan pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pusat studi agama. Peran itu menentukan dimensi dan fungsi dari sebuah kota.
Pakar geografi Muslim abad ke-10, al-Maqdisi, untuk pertama kali mengenalkan mengenai fungsi dan peran kota. Ia mengelompokkan atau mengklasifikasikan kota di dunia Islam menjadi empat bagian. Yaitu, metropolis (misr), ibu kota (qasaba), kota penunjang (madina), dan kota biasa (balad).
Tidak seketika sebuah kota berkembang besar. Butuh proses hingga puluhan tahun. Sejarawan dari Universitas Princeton, Oleg Grabar, mengatakan, satu kota yang dianggap penting dalam tataran geopolitik, komersial, sosial, dan keagamaan akan semakin cepat mengalami perkembangan.
Al-Jahiz, seorang ilmuwan Muslim di abad ke-9, mengungkapkan pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah ada sekitar 10 kota yang masuk dalam kategori metropolis. Kota tersebut adalah Baghdad, Kufah, Basra, Misr yang ada di Mesir, Ray, Nishabur, Merv, Balkh, dan Samarkand.
Setiap kota tersebut terkenal dengan karakteristik yang mendukungnya sebagai sebuah wilayah urban yang berpengaruh. Baghdad, misalnya, sangat kental dengan tradisi intelektualnya sekaligus ibu kota kekhalifahan. Basra dikenal sebagai kota industri. Misr ramai dengan aktivitas dagang, sedangkan Samarkand kondang bersama industri kerajinannya.
Sejarawan Gerald Henry Blake dan Richard Lawless dalam The Changing Middle Eastern City, mengungkapkan pada abad ke-10 seluruh dunia Islam seolah didominasi oleh kemasyhuran Baghdad. Kota megah yang dibangun Khalifah al-Mansur pada 762 Masehi itu jumlah penduduknya antara 200 hingga 500 ribu jiwa.


Terletak di tepian Sungai Eufrat dan Tigris, kota ini memiliki semua syarat yang dibutuhkan sebagai sebuah kota besar dan metropolis. Di sini, istana khalifah berdiri. Demikian pula masjid, madrasah, perpustakaan, vila, pusat perniagaan, dan taman-taman yang indah turut menghiasi pemandangan kota.
Tak berlebihan bila Baghdad dijuluki kota 1001 malam. Sejajar dengan Baghdad adalah Kairo di Mesir. Kota yang juga pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyyah itu populasinya mendekati 500 ribu jiwa. Demikian pula Damaskus di Suriah  maupun Andalusia, merupakan dua kota besar Islam yang terkemuka pada zamannya.
Ciri kota metropolis ditandai dengan keragaman masyarakatnya. Di kota-kota tadi, umat Muslim memang dominan, tapi banyak pula warga nonmuslim. Mereka berasal dari lintas peradaban, etnis, dan agama, semisal Cina, India, Yahudi, Afrika, bahkan Yunani. Ilmuwan Eropa, Ross Dunn, menyebutnya dengan zona interkomunikasi.
Tak heran, jika terjadi hubungan timbal balik di bidang sosial, budaya, perdagangan, pendidikan, politik, dan banyak lagi. Perpaduan tersebut memberikan pengaruh besar pada perkembangan peradaban Islam yang dimulai pada abad ke-7. Sementara, sejumlah kota lain berdimensi lebih kecil. Biasanya hanya sebatas ibu kota provinsi atau distrik. Mansour Elbabour dalam System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, menjelaskan bahwa di setiap kota memiliki hierarki kewilayahan. Kota provinsi, misalnya, terbagi dalam beberapa subdistrik (kuwar).
Masing-masing subdistrik terdiri atas sejumlah desa, permukiman, atau kompleks (tassasij). Selanjutnya, pada tingkat paling bawah, mencakup semacam lahan pertanian atau peternakan (bayadir). Pembagian area semacam itu bertujuan mempermudah administrasi pemerintahan, militer, maupun pemungutan pajak.
Beberapa kota yang masuk dalam kategori itu adalah Sultaniya di Iran, Tinmal di Maroko, dan kota-kota di perbatasan, seperti Tarsus atau Massisa di Cilicia, Qayrawan di Tunisia, dan Kufa di Irak.
Periodisasi

Oleg Grabar melalui buku berjudul World of Islam: Cities and Citizens, memaparkan tiga periodisasi perkembangan kota-kota Islam. Periode pertama berlangsung sejak masa-masa awal Islam hingga 900 Masehi. Pada era ini, berlaku kekuasaan terpusat. Perluasan dan pembangunan kota disponsori langsung oleh khalifah atau gubernur yang ditunjuk.
Periode berikutnya antara tahun 900 Masehi sampai 1300 Masehi. Munculnya penguasa-penguasa lokal, kebanyakan berasal dari kalangan petinggi pemerintahan dan militer, mengubah sebagian tatanan kota sebagai pusat kekuasaan di tingkat lokal atau regional.Kemajuan mulai dirasakan di kota-kota ini meski belum ditunjang stabilitas politik.
Adapun periode terakhir timbul setelah invasi pasukan Mongol. Banyak kota yang hancur lebur, infrastruktur rusak parah, dan butuh waktu lama untuk bangkit. Makmur tidaknya sebuah kota di dunia Islam juga ditentukan oleh banyak faktor. Menurut Grabar, ada dua unsur utama yang berpengaruh.
Pertama, adalah ketersediaan pasokan sumber air. Ini sangat terkait dengan posisi geografis. Kota-kota yang dilewati aliran sungai besar, contohnya di Mesir dan Mesopotamia (Irak), atau yang dilengkapi fasilitas kanal semisal kota-kota di Iran, Suriah, dan Yerusalem, lebih mampu berkembang dan menjadi magnet bagi penduduk sekitar.
Pasokan air memang sangat menentukan mengingat sebagian besar wilayah di dunia Islam beriklim kering dan tandus. Dengan ketersediaan sumber air, kota-kota tadi juga dapat membangun sektor pertanian dan perkebunan secara luas. Unsur kedua terletak pada aspek kesejarahan.
Kota-kota yang dahulu pernah menjadi pusat peradaban, biasanya telah memiliki infrastrukur fisik dan nonfisik untuk mempercepat pertumbuhan. Contohnya, Damaskus, Aleppo, Samarkand, serta Nishapur. Terkait dengan perkembangan kota, sumber dan lietartur sejarah baru muncul pada sekitar abad ke-12.
Sebelum itu, gambaran sebuah kota baru sebatas aktivitas keseharian masyarakat atau tradisi yang berkembang. Salah satu karya al-Maqrizi pada abad ke-15, yakni Khitat Misr, memuat deskripsi tentang sejumlah kota metropolis di dunia Islam. ed: ferry

Berpacu Membangun Kota
Para khalifah senantiasa menaruh perhatian besar terhadap perkembangan kota-kota di wilayahnya. Mereka mengalokasikan dana yang cukup besar. Dana tersebut digunakan untuk penataan kota, membangun fasilitas publik, atau mendirikan bangunan berarsitektur menawan yang mengedepankan keindahan seni Islam.
Khalifah dari Dinasti Umayyah mengawali langkah semacam itu di ibu kota pemerintahan, Damaskus. Melalui karyanya, History of the Arabs, Philip K Hitti menguraikan, di tengah kota tersebut dirancang seperti sebuah mutiara pada gelang batu jamrud. Di sana berdiri megah istana Umayyah yang diberi nama al-Khadhra.
Istana ini lokasinya berdampingan dengan Masjid Umayyah, yang sudah direnovasi oleh arsitek besar bernama al-Walid. Hingga kini, masjid itu masih berdiri dan menjadi salah satu warisan Islam. Kota berusia 6 ribu tahun itu segera menjadi pusat dunia Islam yang sangat sibuk.
Dinasti Umayyah turut membangun berbagai institusi di bidang kesehatan, di antaranya bagi penderita lepra. Rumah-rumah sakit juga didirikan di berbagai kota. Selain itu, Kufah dan Basra di Irak dikembangkan sebagai kota perdagangan, pendidikan, agama, dan pemerintahan.
Pada era itu pula, ujar Tamim Ansary dalam bukunya, Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, kota-kota garnisun melunak menjadi sentra komersial yang sibuk. Di dunia Islam bertebaran kota-kota yang ramai dan sibuk. “Ini merupakan dunia urban,” ungkapnya.
Ketika Khalifah al-Mansur memulai masa kekuasaan Abbasiyah, dia segera membangun ibu kota baru yang bernama Baghdad. Pembangunan yang dimulai pada 762 itu selesai pada 765 Masehi. Keistimewaan Kota Baghdad adalah keberadaan sebuah cincin dinding yang melingkar sempurna, berdiameter 1,6 km, tinggi 29,8 meter, dan tebal 44 meter.
Dengan bentuk semacam itu, lalu muncul sebutan sebagai Kota Bundar. Dalam waktu 20 tahun, Baghdad menjadi kota tersibuk dan terbesar di dunia Islam. Air mengalir dari Sungai Eufrat dan Tigris melalui jaringan saluran air. Pasar-pasar selalu ramai dengan kehadiran para pedagang dari seluruh penjuru negeri.
Ya’qubi, seorang ahli geografi Arab, menggambarkan bahwa Baghdad memiliki 6.000 jalan dan lorong. Selain itu, terdapat sekitar 3.000 masjid serta 10 ribu pemandian umum. Hal serupa juga terjadi di Kordoba, Andalusia. Abdur Rahman, penguasa Andalusia keturunan Umayyah, ingin menciptakan kembali Damaskus di Spanyol.
Ketika itu, ujar  Ehsan Masood dalam Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, Kordoba sudah menjadi kota penting, namun tidak terurus dengan baik. Abdur Rahman menciptakan kota itu sebagai pusat kebudayaan, pendidikan, dan pengetahuan. Kemasyhuran Kordoba bahkan disebut-sebut mampu menyaingi Baghdad.
Ratusan masjid berdiri di Kordoba. Kota metropolis ini pun memiliki akses terhadap kenyamanan pada zamannya, seperti air di setiap rumah dan lampu jalan. Perpustakaan besar juga dibangun, begitu juga perluasan lahan pertanian. yusuf assidiq, ed: ferry

0 komentar

Posting Komentar