Pengawas Pasar
by aristek-2004
Al-Ghazali memuji peran pengawas pasar dalam karyanya, Ihya Ulum al-Din.
Pasar sejak awal menjadi pusat kegiatan ekonomi umat Islam. Fenomena ini muncul sejak masa Rasulullah. Semula, semuanya sederhana saja. Namun, seiring meningkatnya volume perdagangan yang kian meningkat, munculah kondisi yang lebih kompleks. Di dalamnya termasuk persaingan perdagangan.
Hal itu disadari Rasulullah yang kemudian memberi panduan. Tujuannya, agar umat Islam menjalankan kegiatan ekonomi di pasar dengan jujur dan adil. Untuk memperkuat aturan, muhtasib ditugaskan mengawasi jalannya kegiatan di pasar. Muhtasib merupakan petugas yang bekerja mengawasi pelaksanaan ketentuan di lingkungan pasar. Umar bin Khattab tercatat sebagai muhtasib pertama dalam sejarah Islam.
Pengawas pasar memainkan peran strategis. Mereka harus memastikan geliat ekonomi dan perdagangan berjalan sesuai ketentuan hukum serta agama. Siapa yang melanggar, akan ditertibkan, bahkan mendapatkan sanksi tegas.
Pada masa selanjutnya, posisi pengawas pasar ini dipertahankan sekaligus diperkuat. Di beberapa wilayah Islam, fungsi mereka tak lagi sebatas pengawas pasar, melainkan pada aspek lain dalam kegiatan keseharian masyarakat. Menurut sejarawan Michael Cook (2000),muhtasib mempertegas kehadiran hukum Islam di ranah publik.
Dunia Islam pernah melahirkan pengawas pasar terkenal yang berasal dari Malaga, Andalusia, yaitu al-Saqati. Ia menuliskan pengalamannya ke dalam sebuah buku berjudul Hisba. Ini berasal dari akar katahasaba,yang berarti memperhitungkan. Pada perkembangannya, hisba bermakna upaya penegakan hukum berdasarkan sistem peradilan.
Kebutuhan terhadap kendali pemerintah di pasar dan juga di beberapa aspek kehidupan menjadi cikal bakal pembentukan badan hisba. Fungsinya adalah menegakkan aturan di pasar dan di tempat lain. Pelaksana harian adalah muhtasib atau sahib al-suq, para pengawas pasar. Mekanisme ini dilembagakan sejak masa Dinasti Umayyah.
Sebagai aparat negara, mereka menerima otoritas dari qadi atau hakim. Keberadaan mereka adalah untuk mengatasi praktik penyimpangan dalam perdagangan. Demikian pula dengan perselisihan dalam usaha yang dikhawatirkan memantik terjadinya konflik antarsuku, keluarga, atau komunitas.
Biasanya, emir atau gubernur terpaksa turun tangan meredam gesekan. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Pemerintah lantas menerbitkan aturan legal demi menjaga ketertiban umum, khususnya di pasar, sebagai jantung ekonomi di kota-kota Islam. Mereka, misalnya, mengecek bobot timbangan dan ukuran barang milik pedagang.
Muhtasib juga tak segan memusnahkan produk-produk dagangan yang sudah jelek supaya konsumen memperoleh barang yang baik. Setiap hari, mereka berkeliling pasar bersama asistennya. Di samping itu, mereka juga selalu mengingatkan pedagang dan pengunjung pasar untuk memelihara kebersihan pasar.
Terutama tidak membuang sampah sembarangan, yang akibatnya bisa mengotori kota. Dan, teks klasik karya al-Saqati mengurai secara perinci tugas serta fungsi pengawas pasar itu, praktik perdagangan, dan hukum. Di sini, ia menegaskan bahwa pasar mempunyai peran sentral untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, aktivitas di pasar harus diawasi secara ketat oleh negara demi menghindari praktik penipuan dan kecurangan. Selain sebagai pengawas, al-Saqati, yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abi Muhammad al-Saqati, dikenal sebagai pakar ekonomi ternama.
Sebagai seorang pengawas, ia diakui telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia memahami betul seluk-beluk perdagangan di pasar. Ia mengenal pula secara mendalam beragam trik dan penipuan melalui timbangan maupun ukuran barang. Dengan alasan inilah, karyanya dianggap paling komprehensif.
Risalah al-Saqati menjadi rujukan bagi pejabat negara yang punya tanggung jawab di bidang perdagangan dan pengelolaan pasar. Pengaruh hisba sangat kuat di Spanyol hingga kemudian tersebar luas di seluruh daratan Eropa.
Pada artikel bertajuk The Muhtasib, Caroline Stone mengungkapkan, dengan otoritas yang dimiliki, para pengawas pasar berwenang melakukan penindakan hokum, termasuk menahan para pelanggar hukum. Pada abad pertengahan, pemerintahan kota di Kairo, Baghdad, Damaskus, Basra, dan Madinah memiliki satuan muhtasib-nya sendiri.
Selain karya al-Saqati, literatur klasik tentang eksistensi hisba danmuhtasib cukup banyak jumlahnya, tersebar merata di sejumlah wilayah Islam. Yassine Essid dalam karya berjudul A Critique of the Origins of Islamic Economic Thought mengungkapkan sederet tokoh yang menuliskan karya dengan tema serupa.
Di antaranya adalah Abu Zakariyya bin Umar. Ahli ekonomi dari Andalusia abad ke-10 Masehi ini menghasilkan tulisan penting berjudulAhkam al-Suq atau Rules of the Market. Yassine Essid mengatakan, karya yang disusun oleh Abu Zakariyya ini tergolong risalah tertua.
Abu Zakariyya menjelaskan panduan pembentukan badan hisba.Informasi berharga lainnya yakni mengenai kondisi sosial ekonomi pada masa itu, serta sepak terjang hisba dalam mengemban fungsi dan tanggung jawab dari negara. Ahmad bin Abdul Rauf berkontribusi melalui Risalat Ahmad bin Abdul Rauf fi al-Hisba wa al-Muhtasib.
Kitab ini terdiri dari 37 bab, dan selesai ditulis pada masa pemerintahan Khalifah al-Hakam II. Cendekiawan legendaris al-Ghazali turut memuji peran hisba dan muhtasib untuk menjaga kedisiplinan masyarakat dalam mahakaryanya, Ihya Ulum al-Din. Ia mengatakan, badan tersebut sangat efektif mengatur tertib hukum maupun perilaku moral anggota masyarakat di tempat umum. ed: ferry kisihandi
Menjamin Standar Pelayanan Publik
Tugas muhtasib memiliki dimensi yang luas. Bukan sebatas mengawasi kegiatan jual beli di pasar. Perkembangan kota dan masyarakat menuntut peran lebih dari jabatan ini. Dengan demikian, mereka dituntut menguasai banyak hal agar dapat bekerja secara efektif.
Dalam The Muhtasib,Caroline Stone mengatakan, standar pelayanan publik menjadi pegangan utama muhtasib. Selain di pasar, mereka melakukan pengecekan secara rutin terhadap sejumlah aspek pelayanan di toko dan rumah-rumah makan. Prinsip kesehatan dan kebersihan juga mereka pegang teguh.
Mereka berupaya agar jalan-jalan kota serta sungai tetap bersih dari kotoran sampah. Caranya, memberi penjelasan kepada masyarakat jangan membuang sampah sembarangan dan mengenakan sanksi bagi pelanggarnya. Di sisi lain, pada perkembangannya, tugas mereka kian bertambah.
Para muhtasib bertugas secara khusus untuk memeriksa kualitas peralatan medis ataupun obat-obatan dari para dokter dan tenaga kesehatan. Kewenangan mereka pun mencakup verifikasi terhadap surat izin praktik dari para dokter serta apoteker. Dalam Hisba, al-Saqati memaparkan bahwa mereka kerap menelaah bahan baku dari sebuah produk olahan.
Begitu pula dengan bahan baku obat. Dengan tugasnya yang beragam, muhtasib pun perlu dibekali pengetahuan mendalam agar mampu mengidentifikasi praktik kecurangan pada dua bidang tersebut.
Ketinggian bangunan ternyata juga menjadi objek yang harus mereka cermati. Ini terkait dengan kebijakan pada masa kekhalifahan Islam yang melarang adanya bangunan yang lebih tinggi dari pasar sehingga menutup datangnya sinar matahari. Dikhawatirkan, jika datang hujan, jalanan pasar sulit kering dan berlumpur. Ini untuk menjaga kebersihan pasar yang umumnya dekat dengan masjid.
Sederet tanggung jawab muhtasib dicatat pada masa Sultan Barquq dari Dinasti Mamluk di Kairo. Antara lain, pengawasan di bidang perniagaan, keuangan, moral, kebersihan, pendidikan, hingga lalu lintas. Keberadaan muhtasib masih bisa ditemukan di negara pecahan Uni Soviet, Tatarstan.
Umat Islam setempat tetap mempertahankan badan pengawas itu selama berabad-abad. Saat ini, Tatarstan memiliki tak kurang dari 44muhtasib.
Komentar
Posting Komentar