ARSITEKTUR MESJID QAYRAWAN, TUNISIA
Simbol Peradaban Maghribi
Sejarah membuktikan bahwa di masa lalu, setiap pemerintahan kekhilafan Islam yang menjadikan suatu negeri sebagai pusat pemerintahan atau gubernuran hampir selalu membangun sebuah monumen bersejarah, dan masjid adalah salah satunya. Yah, setidaknya itu satu hal yang bisa saya simpulkan.
Latar Politik
Begitu pula di Tunisia, yang dulu bernama Ifriqiya. Di masa itu, trah Aghlabid yang menjadi penguasa Tunisia pada pertengahan abad kesembilan masehi, membangun Masjid Agung Qayrawan. Masjid yang hingga saat ini masih merupakan masjid terbesar di daerah Maghribi, Afrika bagian utara itu dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ziyadatallah I.
Menurut penelusuran data sejarah, saya mendapati sebuah informasi bahwa Ifriqiya (sekarang Tunisia) tadinya adalah salah satu provinsi yang berada di bawah administratur Maghribi yang menginduk pada kekhilafahan Umayyah di Damaskus.
Hanya saja para penduduknya yang bertemperamen keras tak ikhlas dipimpin penguasa asing (Arab). Alhasil, pada tahun 800 masehi Ifriqiya mendapatkan hadiah sebagai daerah semi independen dari penguasa Abbasiyah di Baghdad.
Perkenalan para penduduk Maghribi dengan Islam diawali ketika Khalifah Utsman bin ‘Affan mengirim sebuah delegasi dakwah—yang didampingi sepasukan kavaleri. Ya, di masa itu utusan Khalifah tiba di maghribi melalui Ifriqiya. Menurut catatan, kedatangan misi dakwah dan militer pertama ke Maghribi itu terjadi pada tahun 647, tiga tahun setelah Utsman menjadi khalifah.
Pada tahun 665, Muawwiyah yang menggantikan ‘Utsman kembali mengirimkan ekspedisi lanjutan. Akhirnya, lima tahun kemudian (670) Tunisia betul-betul telah menjadi bagian dari kekuasaan Islam di Damaskus. Pada saat itulah jenderal-jenderal bawahan Muawwiyah, yang memimpin ekspedisi ke Ifriqiya mendirikan kota Qayrawan. Kota ini terletak di daerah padang pasir yang gersang, 150 km selatan kota Tunis dan 60 km sebelah barat kota Shushah (Sousse). Qayrawan sendiri mempunyai arti: tempat berkemah.
Namun dua belas tahun kemudian (682), mulai muncul rasa tidak nyaman di kalangan warga Barbar Ifriqiya atas kepemimpinan para jenderal bawahan Muawwiyah yang dianggap terlalu ketat. Apalagi, temperamen orang Maghribi (termasuk Ifriqiya) sekeras penduduk asli Arab di Hijaz, yang pantang dikuasai suku atau bangsa lain karena rasa primordialisme yang masih tinggi.
Pemberontakan pun muncul. Mereka menuntut sebuah otonomi khusus. Dipimpin seorang tokoh Ifriqiya bernama Qusayla mereka berhasil mengalahkan pasukan Jenderal Uqbah bin Nafi’, yang bermarkas di Biskra (hari ini masuk wilayah Aljazair).
Selanjutnya usaha untuk mendapatkan otonomi lebih dari Damaskus dilanjutkan oleh seorang pemimpin wanita Barbar bernama Al-Kahina yang hingga saat ini menjadi legenda suku Barbar karena kemampuannya menahan gempuran pasukan Damaskus. Hanya saja, perlawanan Kahina runtuh pada tahun 702. Kekalahan itu akhirnya menjadikan proses Arabisasi berjalan lebih pesat. Alhasil, sejak itu tak lagi terjadi gejolak di Ifriqiya.
Di masa lalu, penduduk maghribi, yang dikenal sebagai orang Barbar terkenal sebagai suku bangsa yang gemar berperang. Sepertinya, hal ini merupakan buah dari temperamen mereka yang cenderung keras. Tidak heran, jika kemudian Jenderal Thariq bin Ziyad yang hendak menggempur Roderick, sang penguasa Visighot di Spanyol, melakukan perekrutan besar-besaran terhadap orang Barbar yang penduduk asli Ifriqiya itu. Ya, melalui sebuah kebijakan wajib militer.
Namun demikian, meski sempat berkolaborasi dengan Umayyah, semangat orang-orang Barbar untuk lepas dari Damaskus tetap ada. Bak api dalam sekam. Terlebih, ketika kekuasaan Umayyah di Damaskus berakhir pada tahun 750 dan digantikan oleh Abbasiyah di Baghdad. Pergantian kekuasaan tersebut tentu saja membuat Ifriqiya otomatis menjadi bagian dari Baghdad yang lebih moderat dibandingkan Damaskus.
Kemoderatan Baghdad itulah akhirnya mengantarkan orang Barbar mewujudkan obsesi mereka untuk menjadi sebuah daerah semi independen. Cita-cita akhirnya terwujud. Sejak tahun 800, Ifriqiya menjadi sebuah daerah semi independen di bawah pimpinan Emir Ibrahim al-Aghlabi (800-812). Rupanya, status semi independen ini cukup memuaskan bangsa Barbar. Mereka menganggap status ini lebih daripada hanya sekadar otonomi khusus.
Masjid Agung Qayrawan
Ziyadatallah I (817-838), penerus kekuasaan Aghlabi menjadi seorang pemimpin yang berwibawa. Salah satu prestasi gemilangnya, di antaranyaberhasil melakukan ekspedisi ke Sisilia, Italia.
Dialah, penguasa Ifriqiya, yang mempelopori pembangunan Masjid Agung Qayrawan pada tahun 836, dua tahun sebelum turun tahta. Salah satu elemen masjid yang menjadi monumen atas pengaruh Ziyadatallah adalah menara masjid yang bentuknya dikekalkan hingga saat ini.
Masjid Qayrawan dibangun dalam beberapa tahapan: tahun 836, 862 dan tahun 875. Masjid ini dibangun di atas lahan berukuran 130 kali 80 meter (sekira seluas satu hektare). Bangunannya dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi yang menyerupai benteng dengan delapan pintu gerbang.
Seperti halnya ciri-ciri masjid agung lain yang sudah ada saat itu, masjid kuno ini mempunyai pelataran berukuran panjang 65 meter kali lebar 50 meter yang dikelilingi olehdouble portico (teras beratap yang mengelilingi halaman dalam masjid).
Masjid ini seluruhnya didominasi warna coklat muda, memiliki empat buah menara persegi yang masing-masing memiliki tiga undakan. Undak-undakan itu memiliki pola seragam, yakni: ukuran undakan bagian atas lebih kecil daripada yang di bawahnya.
Tipe menara ini tampaknya mengadopsi bentuk bangunan mercusuar kuno dan mengingatkan kita kepada mercusuar di Iskandarsyah, Mesir seperti yang digambarkan oleh koin-koin kuno. Rupanya, kecenderungan bentuk menara ini menyebar melintasi Maghribi dan Spanyol mulai dari Masjid Qutubiyya di Marrakesh (Maroko) hingga ke Menara Giralda yang terdapat pada Masjid Agung di Sevilla, Spanyol. Oleh karena itulah, menara Masjid Qayrawan yang mempunyai silouette sangat kuat ini dianggap mempengaruhi arsitektur menara-menara masjid yang ada di seluruh Afrika Utara dan Andalusia.
Rancangan masjid ini setipe dengan masjid-masjid yang ada di Afrika Tengah dan daerah masyriqi dengan rancangan arsitektural yang berkiblat pada pola arabesqueberjalin dan hypostyle berteras.
Rancangan ini sudah dipakai sejak zaman Muhammad saw dan telah menjadi rancangan yang disukai sebagai pakem konstruksi masjid di dunia muslim. Salah satu contoh “arabesque berjalin ruang” adalah Masjid Cordoba.
Ruangan besar utama Masjid Qayrawan berpola hypostyle itu terbentuk dari perpaduan 17 baris pilar yang tegak lurus terhadap arah qiblat. Ketujuh belas kendali ruang (nave) yang diciptakannya itu dibelah oleh sebuah kendali ruang yang lebih lebar (nave ke-9) yang sejajar dengan mihrab. Pola ini sama dengan pola yang diterapkan di Masjid Al-Azhar, Cairo.
Sementara pada bagian tengahnya terdapat kupola (langit-langit kubah) yang tampak dominan dan menjadi sebuah tanda penunjuk bagi para jama’ah shalat. Usut demi usut ternyata pola hypostyle pada masjid ini mengandung unsur material kuno—peninggalan Byzantium—yang digunakan kembali baik untuk material kolom maupun tiang-tiang utamanya. Dan, seperti halnya Masjid Amr di Cairo, struktur konstruksiarcade masjid ini pun saling mengikat satu sama lain sehingga mampu menopang atap kayu yang menjadi langit-langitnya.
Dekorasi yang terdapat pada mihrab sungguh menawan sehingga menimbulkan dorongan untuk memperhatikan detail dekorasinya yang terbuat dari sekitar 130 keramik bermutu tinggi dengan warna metalik terang yang diimpor dari Baghdad. Keramik tanah liat itu merupakan keramik ciri khas Mesopotamia.
Sementara itu, ceruk mihrab pada masjid ini dilapisi oleh panel batu marmer yang dirancang agak berlubang-lubang. Pada dua sisi ceruk mihrab—yang menunjukkan arah kiblat—dipasangi juga dua buah pilar marmer kuno. Dengan komposisi tadi, menurut para pengamat arsitektur Barat maupun Timur Tengah, mihrab Masjid Qayrawan ini merupakan salah satu yang paling terkenal dalam dunia Islam.
Di hadapan ceruk mihrab terdapat mimbar yang dibuat dari kayu denganhiasan bermotif. Motif-motif itu merupakan hasil karya ukiran kayu yang sangat halus; mempunyai pola dan karakter yang kuat. Mimbar ini dibuat pada masa Sultan Ibrahim ibn al-Aghlabi berkuasa pada permulaan abad kesembilan. Jadi, sebelum masjid-nya dibangun oleh Ziyadatallah I, Ibrahim al-Aghlabi sudah mempersiapkan mimbar untuk masjid besar kebanggaan orang Tunis itu.
Kemudian masih disekitar mihrab, kupola (cerukan langit-langit kubah berusuk yang muncul tepat di atas mihrab tampak ditopang oleh dinding bersegi delapan yang juga ditopang oleh dinding segi empat. Transformasi dari segi empat ke segi delapan hingga lingkaran kubah itu sengaja dibuat sedemikian rupa. Pola ini ternyata juga merupakan salah satu ciri khas masjid ini.
Kemudian, kupola lain—yang terdapat pada pertengahan pintu gerbang tenggara pada pelataran—menjadi sumbu pintu masuk utama (entrance) menuju ruang utama masjid.
Satu hal yang perlu menjadi catatan penting: bahwa pembangunan masjid ini membawa pengaruh besar terhadap kedudukan Tunisia karena Qayrawan menjadi kota suci keempat bagi kalangan sunnah wa al-jama’ah.
(By: sofwan ardyanto)
Komentar
Posting Komentar