UMAT manusia patut berterima kasih pada tokoh ini iaitu Abdullah Al-Idris (1099-1166 M). Dilahirkan dengan nama penuh Abu Abdullah Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abdullah Ibn Idris Ash-Sharif di kalangan ilmuwan dan masyarakat Barat dan dunia umumnya, Al-Idris dikenal sebagai seorang ahli geografi, dan pencipta peta dunia daripada perak seberat 400 kilogram.

Berkat karyanya ini, umat manusia dapat mengetahui di mana letak benua atau kawasan tertentu yang ingin dituju. Beberapa pelajar di institusi pengajian tinggi menyanjung ilmuwan kelahiran Ceita, Sepanyol ini sebagai ahli geografi dan kartografi terbesar pada abad pertengahan. Idris atau Al-Sharif Al-Idris Al-Qurtubi juga memberi sumbangan dalam bidang ilmu kedoktoran.

Read More......

KETIKA LIBYA DI BAWAH ISLAM

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 13.42 | | 0 komentar »

 
Oleh : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar


Muammar Qaddafi, pemimpin Libya berusia 69 tahun itu menunjukkan wajah aslinya. Tokoh yang ke negeri-negeri Muslim lainnya gemar membangun citra pembela Islam dengan membangun masjid, membagi mushaf dan mengolok-olok Amerika itu kini menjawab demonstrasi rakyatnya dengan pesawat tempur! Karena shock dengan perintah itu, beberapa pesawat tempurnya lantas membelot ke luar negeri. Sebagian duta besarnya juga lalu mengundurkan diri.

Padahal Libya di zaman kekhilafahan Islam dulu pernah menjadi lumbung pangan! Di bawah komando Amr bin Ash, tentara Islam membuka Libya mulai dari Cyrenaica, yang diganti namanya menjadi Pentapolis, Barqa. Pada 647 M, 40.000 pasukan yang dipimpin oleh 'Abdu'llah bin Sa'ad, menembus jauh ke Barat Libya dan mengambil Tripoli dari Bizantium. Selama berabad-abad berikutnya Libya berada di bawah pemerintahan Islam dengan berbagai tingkat otonomi yang bervariasi, mulai dari Ummayah, Abbasiyah dan Fatimiyah. Kekuasaan Islam dengan mudah diberlakukan di daerah pertanian pesisir dan kota-kota yang menjadi makmur di bawah perlindungan Islam.

Di Cyrenaica, penganut Monofisit dari Gereja Koptik telah menyambut kaum Muslim sebagai pembebas dari penindasan Bizantium. Suku-suku Berber dari pedalaman menerima Islam, namun mereka memiliki sedikit resistensi terhadap budaya Arab.

Ketika Khalifah Harun Al-Rasyid menunjuk Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai gubernur Afrika pada 800 M, Libya menikmati otonomi lokal yang cukup besar. Penguasa dinasti Aghlab berada di antara para penguasa Islam yang paling perhatian untuk Libya. Mereka menghadirkan sebuah standar pemerintahan dan pelayanan publik yang baik, mengembangkan lanjut sistem irigasi Romawi yang membawa kemakmuran ke daerah tersebut hingga meraih surplus pertanian, dan Libya menjadi lumbung pangan untuk di wilayah Mediterania.

Pada akhir abad ke-9 Masehi, Dinasti Fatimiyah mengendalikan Barat Libya dari ibukota mereka di Mahdia, sebelum ibukota baru mereka Kairo pada 972 M dan menunjuk Buluggin bin Ziri sebagai gubernur Libya. Selama pemerintahan Fatimiyah, Tripoli berkembang pesat pada perdagangan, terutama untuk barang-barang yang dibawa dari Sudan seperti wol, kulit, dan garam yang diekspor hingga ke Italia dalam pertukaran dengan barang dari kayu dan besi.

Kemudian muncul Ibnu Ziri's, dinasti Berber Zirid yang memisahkan diri dari Syiah Fatimiyah, dan mengakui Abbasiyah Sunni di Baghdad sebagai khalifah yang sah. Sebagai pembalasan, Fatimiyah memigrasikan 200.000 keluarga dari dua suku Badui, Bani Sulaym dan Bani Hilal ke Afrika Utara. Tindakan ini benar-benar mengubah corak kota-kota Libya karena memantapkan arabisasi budaya. Sayangnya, menurut catatan Ibn Khaldun, para pendatang ini kurang bisa mengurus pertanian sehingga tanah-tanah yang diduduki Bani Hilal lambat laun berubah menjadi padang pasir yang gersang.

Kondisi dalam negeri di Libya yang kurang kondusif ini menjadikannya sempat dikuasai oleh pasukan Salib yang dipimpin Raja Roger II dari Sizilia pada 1146 M. Namun pada 1174 pemerintah Ayubiyah (keturunan Salahuddin al Ayubi) berhasil merebutnya kembali dengan tentara Turki dan Badui.

Setelah itu berkuasalah Sultan Muhamad bin Abu Hafsid, dan para penggantinya dikenal dengan "Dinasti Hafsid" selama hampir 300 tahun. Mereka mendirikan perdagangan yang signifikan dengan negara-negara kota di Eropa. Penguasa Hafsid juga mendorong kesenian, sastra, arsitektur dan memberi beasiswa untuk para ilmuwan. Ahmad Zarruq (1442-1493) adalah salah satu ulama Islam yang paling terkenal yang menetap di Libya saat itu. Hasil karyanya antara lain Qawaid al-Tasawwuf (Prinsip-prinsip Tasawuf), Syarah Fiqh Maliki dan Syarah kitab al-Hikam dari ibn 'Ata illah.

Selama era Hafsid, pengaruh peradaban Islam yang lebih tinggi dari Andalusia menyebar sampai Tripolitania, di mana perlindungan Hafsid telah mendorong kreativitas penduduk Libya untuk beberapa dekade berikutnya.

Pada abad ke-16, Hafsid terperangkap dalam konflik antara Spanyol dan Khilafah Utsmaniyah. Setelah sempat diinvasi oleh Spanyol pada 1510, Khilafah Utsmani akhirnya merebut kembali Libya pada 1551 M. Kota Tripoli kemudian dibangun terus sampai menjadi salah satu kota yang paling mengesankan sepanjang pantai Afrika Utara. Pada 1565, kewenangan administratif penguasa di Tripoli ditunjuk langsung oleh Khalifah di Istanbul.

Selanjutnya politik di Libya memang mengalami pasang surut, yang intinya adalah memperebutkan tingkat otonomi yang bervariasi. Namun hal ini tak menyurutkan kondisi bahwa Tripoli dan Libya umumnya adalah salah satu kota dunia di tepi Laut Tengah.

Ekonomi Libya mulai runtuh setelah negara-negara Barat masuk ke Afrika, dimulai dari Napoleon pada 1819. Mereka menggunakan strategi perpecahan dan perang saudara. Akhirnya, ketika Daulah Utsmaniyah sendiri mengalami kemerosotan, wilayah Libya menjadi provinsi yang terpencil di sebuah negara yang membusuk.

Pada tahun 1969, Muammar Qaddafi yang baru berusia 27 tahun melakukan kudeta tak berdarah, dengan memaksa Raja Idris agar menyerahkan kekuasaan ke Putra Mahkota, tetapi lalu sang Putra Mahkota tidak pernah dilantik. Muammar Qaddafi kemudian mengembangkan Islam menurut versinya, yaitu sosialisme. Dia menulis "Buku Hijau", membagikan ke rakyatnya dan mewajibkan mereka untuk mempelajarinya seperti layaknya Alquran.

Hasilnya, Libya semakin terpuruk, dan hari-hari ini, mereka meminta sang pemimpin yang sudah tidak muda lagi itu untuk mundur. Libya memang hanya akan bangkit dan maju kalau diperintahkan kembali dengan syariat Islam di dalam Daulah Khilafah.

Read More......

Kota Hijau, Destinasi Baru?

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 00.30 | | 0 komentar »

Perjalanan Jogja ke Turin, memang mengharuskan mampir ke beberapa terminal lain; Soeta di Cengkareng, Changi di Singapura, dan Charles de Gaulle di Paris. Perjalanan yang cukup lama dan memerlukan niat lebih, apalagi untuk menamatkan puasa pada hari2 itu, meski tergolong “safar” yang boleh saja menggantinya dengan puasa di hari lain atau membayar fidyah. Perjalanan ini akhirnya dituntaskan untuk membaca sebagian isi buku “Ecological Intelligence”nya Daniel Goleman yang dibeli di Periplus Cengkareng (akan ditulis di postingan lain). Bacaan2 majalah maskapai seperti Silverkris-nya SQ juga menarik untuk dilihat (tepatnya dalam menghilangkan kebosanan :-)).
Yang menarik dari sana adalah postingan salah satu penyumbang tulisan Sarah Hileman tentang “Greencities”. Terus terang tulisan ini begitu menggelitik dan kembali mengingatkan akan tugas ideal di MK Pembangunan Kota Berkelanjutan untuk menjadikannya sebagai basis data banyak kota di dunia sebagai kota punya strategi kongkrit menuju sesuatu yang hijau, berkelanjutan, dalam pembangunan kotanya. Tapi ini lain hal, Hileman di sana menduga bahwa tren untuk mengunjungi kota2 hijau ini akan semakin meningkat di masa datang. Tentu ini ada hubungannya dengan buku2 provokasi dalam masalah ini, seperti Thomas Friedman (Hot, Flat, and Crowded) atau kesadaran yang mulai terbangun ala “Ecological Intelligence” tadi. Saya pun terobsesi dengan model wisata “greencities” ini, terutama untuk melihat strategi dan implikasi praktik kongkritnya dalam hidup sehari-hari, tidak saja dari “parameter2 hijau” yang bisa saja berbeda dari pihak2 yang berbeda itu.

Read More......

Masjid Agung Umayyah memiliki peran yang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Secara historis dan budaya, masjid yang berdiri megah di jantung kota tua Damaskus, Suriah, itu merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam yang paling tua. Inilah salah satu karya fenomenal dalam bidang arsitektur di era kekhalifahan yang menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan peradaban Islam.

Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bina masjid di seluruh dunia. Masjid Agung Umayyah yang diyakini sebagai salah satu tempat suci bagi kaum Muslimin, itu merupakan tempat lahirnya sejumlah elemen penting dalam dunia arsitektur Islam. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan ( horseshoe arch), menara segi empat, dan maksurah.
Berdirinya Masjid Agung Umayyah berawal dari kedatangan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid di Suriah pada 635 M. Dengan menjunjung semangat toleransi, umat Islam yang menguasai Damaskus memberi kebebasan bagi penganut Nasrani untuk beribadah. Kedua pemeluk agama samawi ini lalu bersepakat untuk membagi dua gereja St John.
Umat Islam beribadah di sebelah timur dan di bagian barat digunakan penganut Kristen sebagai gereja. Tempat ibadah kedua agama ini hanya dipisahkan dinding tembok. Berbilang waktu, jumlah umat Islam di Damaskus terus bertambah banyak. Sehingga, bangunan gereja yang dibagi dua itu tak lagi mampu menampung jumlah umat Islam yang kian bertambah banyak.

Read More......

KHURASAN, Tanah Matahari Terbit

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 14.45 | | 0 komentar »

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda; ‘’(Pasukan yang membawa) bendera hitam akan muncul dari Khurasan. Tak ada kekuatan yang mampu menahan laju mereka dan mereka akhirnya akan mencapai Yerusalem, di tempat itulah mereka akan mengibarkan benderanya.’’ (HR:Turmidzi).

Khurasan merupakan wilayah yang terbilang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Jauh sebelum pasukan tentara Islam menguasai wilayah itu, Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya telah menyebut-nyebut nama Khurasan. Letak geografis Khurasan sangat strategis dan banyak diincar para penguasa dari zaman ke zaman.
Pada awalnya,Khurasan Raya merupakan wilayah sangat luas membentang meliputi; kota Nishapur dan Tus (Iran); Herat, Balkh, Kabul dan Ghazni (Afghanistan); Merv dan Sanjan (Turkmenistan), Samarkand dan Bukhara (Uzbekistan); Khujand dan Panjakent (Tajikistan); Balochistan (Pakistan, Afghanistan, Iran).
Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Republik Islam Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afganistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti ‘Tanah Matahari Terbit.’
Jejak peradaban manusia di Khurasan telah dimulai sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi (SM). Sejarah mencatat, sebelum Aleksander Agung pada 330SM menguasai wilayah itu, Khurasan berada dalam kekuasaan Imperium Achaemenid Persia. Semenjak itu, Khurasan menjelma menjadi primadona yang diperebutkan para penguasa.
Pada abad ke-1 M, wilayah timur Khurasan Raya ditaklukan Dinasti Khusan. Dinasti itu menyebarkan agama dan kebudayaan Budha. Tak heran, bila kemudian di kawasan Afghanistan banyak berdiri kuil. Jika wilayah timur dikuasai Dinasti Khusan, wilayah barat berada dalam genggaman Dinasti Sasanid yang menganut ajaran zoroaster yang menyembah api.
Khurasan memasuki babak baru ketika pasukan tentara Islam berhasil menaklukkan wilayah itu. Islam mulai menancapkan benderanya di Khurasan pada era Kekhalifahan Umar bin Khattab. Di bawah pimpinan komandan perang, Ahnaf bin Qais, pasukan tentara Islam mampu menerobos wilayah itu melalui Isfahan.
Dari Isfahan, pasukan Islam bergerak melalui dua rute yakni Rayy dan Nishapur. Untuk menguasai wilayah Khurasan, pasukan umat Islam disambut dengan perlawanan yang amat sengit dari Kaisar Persia bernama Yazdjurd. Satu demi satu tempat di Khurasan berhasil dikuasai pasukan tentara Islam. Kaisar Yazdjurd yang terdesak dari wilayah Khurasan akhirnya melarikan diri ke Oxus.

Read More......

Arsitektur Dinasti Seljuk

Diposting oleh MUHAMMAD ZIYAD ALQASSAM | 14.39 | | 0 komentar »

Dinasti Seljuk. Inilah kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Kekuasaan yang digenggamnya begitu luas meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah — terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia. Kekaisaran Seljuk Agung yang mulai menancapkan kekuasaan pada abad ke-11 M hingga 14 M itu didirikan suku Oghuz Turki yang memeluk Islam mulai abad ke-10 M. Sejatinya, Kekaisaran Seljuk dirintis oleh Seljuk Beg. Namun, Kerajaan Seljuk yang berdiri pada 1037 M itu baru terwujud pada era kepemimpinan Tugrul Beg yang berkuasa hingga 1063 M. Sejarah mencatat Dinasti Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam yang ketika itu nyaris tenggelam. Dalam waktu yang singkat, wilayah kekuasaan Kerajaan Seljuk pun kian bertambah luas. Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaannya ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur-Tengah seperti Irak, Persia, Suriah serta Kirman. Sebagai negara yang sangat kuat, Dinasti Seljuk amat disegani. Pada tahun 1055 M, Kerajaan Seljuk sudah mampu menembus kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiah. Dua dasawarsa berikutnya, ketangguhan militer Seljuk mampu memukul mundur Bizantium yang bercokol di Palestina — kota suci ketiga bagi umat Islam — dalam pertemuran Minzikert 1071 M. Pemerintahan Dinasti Seljuk yang berpusat di Anatolia itu amat toleran. Kehadirannya seakan menjadi penerang bagi rakyatnya. Meski berasal dari salah satu suku di Turki, para penguasa Seljuk sangat menghargai perbedaan ras, agama, dan jender. Tak heran, bila bangunan tempat ibadah umat Nasrani dan Yahudi berdiri berdampingan dengan masjid. Di bawah bendera Seljuk, umat Islam dapat hidup dalam kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Pada era dinasti ini aktivitas keagamaan berkembang dengan pesat. Hal itu ditandai munculnya kegiatan sufisme. Tak cuma itu, ilmu pengetahuan pun turut berkembang.

Read More......