MENGENAL KOTA ISLAM
KOTA ISLAM JUGA DIBANGUN SEBAGAI PUSAT DAKWAH.
Rancangan sebuah kota tak lepas dari keyakinan yang dianut masyarakatnya. Bangunan yang berdiri memenuhi kota itu tak sembarang dibuat. Namun, ada nilai-nilai yang lekat di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Islam. Kian luasnya penyebaran Islam ke berbagai wilayah di Asia, Afrika, dan Eropa memberikan pengaruh dalam pembangunan sebuah kota. Inti sari keyakinan agama tertuang dalam rancangan, tata letak, ataupun bangunan yang berdiri tegak di kota tersebut. Maka, mewujudlah kota Islam.
Sejumlah kota Islam yang mula-mula berdiri di antaranya adalah Fustat atau Kairo lama, Tunis, dan Rabat. Kota-kota itu muncul tak hanya berfungsi sebagai wadah sebuah masyarakat, tetapi juga menjadi pusat dakwah Islam.
Menurut Rabah Saoud dari University of Ajman, Uni Emirat Arab, kota-kota itu dibuat layaknya Madinah, yang menjadi tempat bagi mereka yang memutuskan memeluk Islam dan berketetapan untuk meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah. Saoud dalam tulisannya di Muslimheritage menyatakan, pada umumnya kota Islam mencerminkan kehidupan sosial, budaya, politik, dan struktur ekonomi yang terbentuk dalam masyarakat. Sejumlah faktor juga memainkan peran penting dalam merencanakan dan membangun kota Islam.
Faktor pertama adalah hukum alam.
Dalam membangun sebuah kota, langkah pertama yang ditempuh masyarakat Islam adalah melakukan adaptasi terhadap keadaan alam yang bisa dilihat dan dirasakan, seperti cuaca dan topografi.
Adaptasi tersebut diwujudkan dengan menerapkan sejumlah konsep, seperti pembuatan halaman, teras, jalan-jalan sempit, dan taman-taman tertutup.
Hal itu dirancang degan tujuan mengatasi kondisi cuaca panas yang mendominasi lingkungan di sebagian besar wilayah dunia Islam. Yang kedua adalah soal keyakinan agama dan budaya.
Keyakinan agama dan praktik keagamaan menjadi pusat kehidupan budaya bagi masyarakat Muslim. Tak heran jika masjid kemudian memiliki posisi sentral dalam ruangruang kota dan hierarki kelembagaan. Rancangan kota juga dibuat sarat dengan jalan-jalan kecil dan kuldesak yang memisahkan wilayah publik dengan pribadi.
Di sisi lain, penggunaan lahan atau ruang kota menekankan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Lalu, kegiatan ekonomi yang melibatkan pertukaran barang dan kehadiran publik dipisahkan dari wilayah perumah an dan terkonsentrasi di area publik dan jalan-jalan utama. Dengan demikian, kegiatan publik tak mengganggu kenyamanan pribadi. Faktor ketiga adalah prinsip hukum syariah. Kota Islam juga mencerminkan aturan syariah dalam hal fisik dan hubungan sosial serta antara tetangga dan kelompok-kelompok sosial.
Bahkan, prinsip privasi rumah tak jarang tertuang dalam peraturan atau undang-undang. Dalam aturan itu, disebutkan bahwa ketinggian dinding yang mengelilingi rumah harus di atas ketinggian penunggang unta. Dengan demikian, privasi pemilik rumah terjaga dan kehidupan di dalam rumah tidak bisa terlihat oleh orang-orang yang berada di luar atau di jalan-jalan.
Prinsip sosial menjadi faktor keempat yang memainkan peran penting dalam pembangunan kota Islam. Prinsip ini terkait dengan organisasi sosial, di mana organisasi tersebut dibentuk berdasarkan pada pengelompokan sosial. Misalnya, asal usul etnis dan perspektif budaya.
Oleh karena itu, pembangunan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sosial tersebut, terutama dalam hal kekerabatan solidaritas, pertahanan, tatanan sosial, dan praktik-praktik keagamaan. Kelompok-kelompok itu antara lain adalah Arab, Yahudi, Andalusia, dan Turki. Pengelompokan seperti ini dapat dilihat dari konsep tempat tinggal yang dikenal sebagai Ahya di Mashraq atau Huma di Maghrib. Selain itu, sebuah kota Islam juga biasanya akan dapat dikenal dengan ciri khas yang melekat.
Kota Islam pada umumnya mempunyai masjid utama yang terletak tepat di jantung kota. Biasanya, dikelilingi oleh pasar, seperti yang terlihat di Masjid Zaytouna di Tunis dan Masjid Agung di Isfahan, Iran. Masjid menjadi tempat penting untuk beribadah. Selaian itu, masjid juga dijadikan sebagai pusat pendidikan.
Di dalam masjid, terdapat madrasah atau perguruan tinggi yang mengajarkan mata pelajaran agama dan ilmu-ilmu umum lainnya. Pasar yang menjadi ciri khas masjid dikenal sebagai suq. Letak pasar berada di luar masjid utama. Beragam barang diperjualbelikan di pasar tersebut, termasuk buku. Di sekitar pasar juga terdapat area lain untuk kegiatan publik, yaitu tempat pelayanan sosial, administrasi, pemandian, dan penginapan (Funduq dan Waqala). Keberadaan benteng juga menjadi salah satu ciri khas sebuah kota Islam.
Benteng dikenal pula dengan sebutan qasaba dan berfungsi sebagai representasi kekuasaan istana gubernur. Tak heran jika benteng umumnya dibangun di daerah yang tinggi sebagai tempat pertahanan. Benteng ini dikelilingi dinding tinggi dan memiliki masjid sendiri di dalamnya.
Dipenuhi oleh para penjaga yang gagah. Pun, ada kelompok permukiman. Ini me rupakan kelompok rumah tangga yang dibuat berdasarkan kedekatan atau qaraba. Kelompok permukiman ini biasanya padat penduduk dan setiap kelompok permukiman mempunyai masjid sendiri yang hanya digunakan untuk ibadah sehari-hari, memiliki sekolah Alquran, toko roti, dan toko-toko untuk kebutuhan hidup.
Mereka juga memiliki gerbang sendiri yang ditutup pada malam hari setelah shalat terakhir dan dibuka pada waktu Subuh. Kelompok permukiman juga dibagi menurut agama. Dalam kota-kota Islam, terdapat kelompok permukiman Muslim dan kelompok permukiman Yahudi.
Pengelompokan ini membuat setiap kelompok permukiman bisa melakukan ibadah dan upacara keagamaan sendiri sesuai dengan iman dan budaya mereka sendiri. Dari permukiman ini, juga dibangun jalan-jalan penghubung ke tempat-tempat penting. Jalan penghubung ini terdiri atas jalan publik, pribadi, ataupun jalan semipribadi. Sebagai pelindung warga kota, di sebuah kota Islam dibangun tembok kota yang memiliki sejumlah gerbang.
Ciri khas lainnya yang muncul di sebuah kota Islam adalah eksterior kota, seperti pemakaman dan pasar mingguan. Pemakaman ini dibangun untuk memakamkan warga kota sesuai dengan agamanya, tak heran jika ada pemakam an Muslim, Kristen, dan Yahudi. ed: ferry
Bangkit dan Pudarnya Kota Islam
Keberadaan kota Islam tak selamanya sesuai tujuan semula, yaitu sebagai pusat dakwah. Ada pergeseran yang disebabkan oleh motif politik ataupun perpecahan di kalangan umat Islam. Paling tidak, tandatanda itu mulai muncul pada abad ke-9.
Tak hanya itu, serangan yang dilakukan suku nomaden yang ada di sekitar wilayah kekuasaan Islam juga memengaruhi pergeseran tujuan berdirinya kota Islam. Kondisi itu menggerogoti kelangsungan hidup kota tersebut. Banyak kota mewujud menjadi medan perang, perpecahan, dan perselisihan.
Sejarawan Muslim, Ibn Khal dun, dalam karyanya Muqaddima mengatakan, hancurnya kota-kota tersebut telah membuat pudar peradaban dan populasi kota bersangkutan. Ia meng ungkapkan, semua itu terjadi akibat perpecahan dan peperangan.
Namun, muncul masa di mana kota-kota yang telah porak-poranda itu bisa dibangkitkan kembali setelah muncul kekuasaan Turki Usmani pada abad ke-16. Mereka menghidupkan kembali kekuasaan Islam dan melawan penjajahan Spanyol dan Portugis di pantai barat Afrika Utara.
Turki Usmani mampu mengendalikan sebagian besar wilayah dunia Islam, kecuali Persia, Semenanjung Arab, dan Maroko. Kekuatan Turki Usmani hadir dengan membawa perdamaian, keamanan, dan kemakmuran yang merupakan kebutuhan dasar untuk memulihkan kota-kota Islam itu.
Munculnya kekuatan Turki Usmani juga membuat banyak kota baru bermunculan. Kota-kota lama yang masih ada diperluas dan berkembang pesat sejalan dengan semakin berkembangnya perdagangan. Kehadiran mereka juga mengimbangi keberadaan bangsa Barat di dunia Islam.
Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, kota-kota Islam kembali meng alami periode yang menyedihkan, di mana penyakit dan kelaparan menyebar luas, seperti yang terjadi di Afrika Utara. Lalu, diikuti oleh jatuhnya kekuasaan Islam ke tangan penjajah kolonial.
Komentar
Posting Komentar