Kota Hijau, Destinasi Baru?
Perjalanan Jogja ke Turin, memang mengharuskan mampir ke beberapa terminal lain; Soeta di Cengkareng, Changi di Singapura, dan Charles de Gaulle di Paris. Perjalanan yang cukup lama dan memerlukan niat lebih, apalagi untuk menamatkan puasa pada hari2 itu, meski tergolong “safar” yang boleh saja menggantinya dengan puasa di hari lain atau membayar fidyah. Perjalanan ini akhirnya dituntaskan untuk membaca sebagian isi buku “Ecological Intelligence”nya Daniel Goleman yang dibeli di Periplus Cengkareng (akan ditulis di postingan lain). Bacaan2 majalah maskapai seperti Silverkris-nya SQ juga menarik untuk dilihat (tepatnya dalam menghilangkan kebosanan :-)).
Yang menarik dari sana adalah postingan salah satu penyumbang tulisan Sarah Hileman tentang “Greencities”. Terus terang tulisan ini begitu menggelitik dan kembali mengingatkan akan tugas ideal di MK Pembangunan Kota Berkelanjutan untuk menjadikannya sebagai basis data banyak kota di dunia sebagai kota punya strategi kongkrit menuju sesuatu yang hijau, berkelanjutan, dalam pembangunan kotanya. Tapi ini lain hal, Hileman di sana menduga bahwa tren untuk mengunjungi kota2 hijau ini akan semakin meningkat di masa datang. Tentu ini ada hubungannya dengan buku2 provokasi dalam masalah ini, seperti Thomas Friedman (Hot, Flat, and Crowded) atau kesadaran yang mulai terbangun ala “Ecological Intelligence” tadi. Saya pun terobsesi dengan model wisata “greencities” ini, terutama untuk melihat strategi dan implikasi praktik kongkritnya dalam hidup sehari-hari, tidak saja dari “parameter2 hijau” yang bisa saja berbeda dari pihak2 yang berbeda itu.
Dalam artikel pendek itu, Hileman hanya mengangkat 4 kota saja. Ia secara fair juga meminta pembaca untuk menuju situs UNEP yang membahas “green economy” atau situs2 PBB yang sejalan dengan tema ini. Pertama dari empat kota itu adalah Stockholm yang sejak tahun 2008 telah diakui oleh OECD sebagai kota yang memang sangat konsern terhadap buangan CO2 dalam kotanya. Transportasi publik sudah digunakan oleh lebih dari 80% penduduk dan menggunakan biogas. Penduduk mereka –rata2- juga kurang dari 300m dalam mengakses ruang2 hijau. Tahun 2050 mereka punya visi untuk terbebas dari bahan bakar fosil. Kedua adalah Reykjavik, ibukota Islandia yang juga punya cita2 sama, bebas dari bahan bakar fosil dan menggantinya dengan geothermal dan energi hidro.
Curitiba, Brazil, menjadi kota lain yang ditampilkan di sana. Dalam mata kuliah terkait :-), kota ini sering diangkat sebagai representasi kota yang bisa mengangkat optimisme kota2 di negara berkembang, terutama Indonesia, untuk mencapai hal yang sama. Busway adalah strategi yang sangat dikenal di dunia dari Curitiba, di mana lebih 80 negara sudah mengadopsinya (Jaime Lerner, 2007). Selain itu adalah keberhasilan mereka untuk mengolah 70% sampahnya sebagai bahan daur ulang. Keempat adalah Kota Portland di Negara Bagian Oregon di AS. Sebagai catatan yang paling penting adalah bagaimana di sana telah berani mengambil resiko untuk membuat “boundary” atau batas di mana masyarakatnya boleh membangun. Dan hasilnya bisa efektif setelah 30 tahun mereka inisiasikan.
Kota-kota lain sebenarnya banyak yang layak dilihat, seperti Freiburg dan Heidelberg di Jerman, Malmo di Swedia, Vancouver dan Montreal di Kanada, Austin dan San Francisco di AS, Oslo di Norwegia, dan Kopenhagen di Denmark. Semua kota2 di Negara maju? Tidak juga. Dari sini sumber ini (dengan memasukkan travel, green cities, dan 4 kota tadi), terlihat bahwa Bogota d Kolombia, Kampala di Uganda, Cape Town di Afsel, dan Puerto Princesa, kota hutan di Filipina, juga masuk daftar dan dianggap sangat potensial sebagai model utama kota hijau untuk negara2 di wilayah selatan lainnya. Untuk negara2 berkembang biasanya yang menjadi penekanan adalah keberanian dalam mengadosi kebijakan2 yang berhubungan dengan penyediaan transportasi umum (infrastruktur), penerapan pajak tambahan seperti tax traffic congestion (fiskal), dan pengetatan jumlah pengeluaran karbon dari kendaraan dengan tidak pandang bulu (lingkungan).
Komentar
Posting Komentar